Potret Ketidak Adilan Gender Terhadap Perempuan Di Dalam Film Dan Sinetron Indonesia
PEMBAHASAN
Potret Ketidak
Adilan Gender Terhadap Perempuan Di Dalam Film Dan Sinetron Indonesia
Media massa dapat menjadi reflektor dari ketidak-adilan
gender yang dalam masyarakat karena menampilkan kehidupan manusia faktual
maupun fiksional. Penampilan wacana ketidak-adilan ini seolah diterima sebagai
kewajaran, karena pekerja media menghadirkan informasi tanpa disertai upaya
yang menempatkan suatu wacana dalam suatu perspektif struktural. Komodifikasi
perempuan dapat berlangsung di ruang publik, dari sini diangkat sebagai informasi media.
Memperlakukan tubuh perempuan sebagai komoditas ini terjadi secara langsung
dalam bisnis seks dan hiburan, atau secara tidak langsung dengan menjadikan
perempuan sebagai teks dalam proses pasar media. Dalih dalam komodifikasi media
biasanya karena perempuan yang bersangkutan sendiri menyukai atau mendapat
kemanfaatan atas posisinya di pasar. Dalih ini bersifat mikro, karenanya sama
sekali tidak menjawab permasalahan struktural yang bersifat makro.
Ketidak adilan gender dapat
diartikan sebagai sikap membedakan dalam memperlakukan perempuan dan laki-laki
di dalam kebutuhan sehari-hari mereka. Hal ini termanifestasikan ke dalam
berbagai bidang kehidupan yang ada, tidak terkecuali di dalam dunia hiburan,
dalam hal ini adalah film televisi. Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui bagaimana representasi ketidakadilan gender terhadap perempuan di
dalam cerita film televisi Wagina Bicara, Menir Si Proyek Gagal, dan Perempuan
Di Rumah Ibu. Secara khusus, penelitian ini ingin mengetahui faktor-faktor apa
saja yang menyebabkan ketidakadilan gender tersebut, bagaimana perempuan
mengatasi setiap bentuk ketidakadilan yang mereka alami, dan bagaimana kondisi
perempuan setelah berusaha untuk mengatasi permaslahannya tersebut. Penelitian
ini termasuk di dalam kategori penelitian kualitatif dengan pendekatan analisis
wacana, dengan teknik pengumpulan data melalui pemilihan beberapa scene pada
film televisi tersebut. Pemilihan adegan ini meliputi adegan-adegan yang menggambarkan
bentuk-bentuk ketidakadilan gender yang dialami oleh perempuan, faktor-faktor
apa saja yang melatarbelakanginya, bagaimana perempuan mengatasi permasalahan
tersebut, dan bagaimana kondisi perempuan setelah mengatasi permasalahan itu.
Teknik analisis data yang dilakukan penulis adalah dengan menggunakan model
analisis wacana Teun A Van Dijk. Penulis melakukan pengamatan terhadap topik
utama yang ada melalui setiap dialog film televisi, visualiasi gambar film
televisi, dan tokoh yang terdapat di dalam film televisi tersebut. Lalu penulis
mengamati dialog yang diungkapkan para tokoh di dalam film tersebut untuk
mendukung tema utama yang diangkat oleh film televisi tersebut. Kesimpulan yang
bisa diambil dari ketiga film televisi ini adalah ketiga film ini menggambarkan
kondisi masyarakat yang belum adil gender. Ketiga film televisi ini mengangkat
tema mengenai ketidakadilan gender dimana perempuan menjadi sosok utama di
dalamnya. Tokoh utama perempuan di dalam ketiga film televisi ini mengalami kondisi
ketidakberdayaan akibat bentuk ketidakadilan gender yang mereka alami.
Bentuk-bentuk ketidakadilan yang mereka alami mulai dari beban kerja ganda,
stereotype atau pelabelan negatif, marginalisasi perempuan, subordinasi
perempuan dan kekerasan terhadap perempuan. Terdapat faktor eksternal yaitu
lingkungan, budaya patriarkhi dan faktor ekonomi serta faktor internal dari
perempuan itu sendiri yang melatarbelakangi setiap bentuk ketidakadilan yang
dialamin oleh perempuan. Perempuan memiliki cara tersendiri dalam menghadapi
permasalahannya yakni dengan melawan dan berinisiatif mencari jalan keluarnya.
Nasib perempuan setelah melakukan perlawanan di dalam masing-masing film
televisi tersebut berbeda-beda. Namun, nilai edukasi yang paling penting di
dalam gambaran perjuangan perempuan di dalam ketiga film ini adalah
penggambaran sosok perempuan yang kuat dan mampu mengatasi setiap
permasalahannya.
Wacana perempuan dalam film dan program televisi
(selanjutnya disebut film) dapat dikritisi melalui cara pandang yang digunakan
dalam menjadikan perempuan sebagai
subyek, untuk kemudian dilihat interaksinya dalam konteks kekuasaan. Dunia show-biz
yang menjadikan perempuan sebagai sumber lawakan misalnya, menunjukkan ketidak-
adilan gender dari struktur kekuasaan yang tidak seimbang. Penonton perempuan boleh
jadi juga ikut menertawakan lawakan ini, karena juga ikut sebagai bagian dari nilai
dominan dalam kekuasaan struktural. Hiburan semacam ini hanya menjadi replika dari
konstruksi sosial yang bias gender. Bandingkanlah dengan film-film transvestis semacam
“Tootsie” yang diperankan oleh Dustin Hoffman (1982), atau film “Mrs Doubfire” oleh
Robin Williams (1993), wacana yang ditampilkan bukan untuk mengolok-olok perempuan.
Humor yang muncul adalah untuk menertawakan laki-laki yang kalah dalam bentuknya
sebagai laki-laki, sehingga terpaksa harus menempatkan dirinya sebagai perempuan.
subyek, untuk kemudian dilihat interaksinya dalam konteks kekuasaan. Dunia show-biz
yang menjadikan perempuan sebagai sumber lawakan misalnya, menunjukkan ketidak-
adilan gender dari struktur kekuasaan yang tidak seimbang. Penonton perempuan boleh
jadi juga ikut menertawakan lawakan ini, karena juga ikut sebagai bagian dari nilai
dominan dalam kekuasaan struktural. Hiburan semacam ini hanya menjadi replika dari
konstruksi sosial yang bias gender. Bandingkanlah dengan film-film transvestis semacam
“Tootsie” yang diperankan oleh Dustin Hoffman (1982), atau film “Mrs Doubfire” oleh
Robin Williams (1993), wacana yang ditampilkan bukan untuk mengolok-olok perempuan.
Humor yang muncul adalah untuk menertawakan laki-laki yang kalah dalam bentuknya
sebagai laki-laki, sehingga terpaksa harus menempatkan dirinya sebagai perempuan.
Setiap media pada dasarnya melahirkan wacana, khusus
media film menampilkan
wacana melalui teks visual dan auditif. Wacana merupakan makna yang ditangkap oleh
khalayak, sedang teks adalah yang dikreasi oleh pekerja media. Teks dimaksudkan untuk
menampung tema yang berasal dari materi faktual atau fiksional, dan ini lahir dari
dialektika antara metode kerja (teknis) dan orientasi nilai (etis). Dari kedua aspek ini
pekerja media mewujudkan informasi. Untuk itu dia akan mengolah tema dengan bahasa
(visual dan auditif). Kecenderungannya mengolah tema dalam pendeskripsian ditentukan
oleh kadar selera (taste)nya, sehingga seluruh informasi pada dasarnya akan
mencerminkan tingkat taste dari kreatornya. Sedangkan taste mewujudkan melalui rasa
(sense) dalam menghadapi bahan yang akan dikreasi dan bahasa yang digunakan dalam
pengwujudan teks media.
wacana melalui teks visual dan auditif. Wacana merupakan makna yang ditangkap oleh
khalayak, sedang teks adalah yang dikreasi oleh pekerja media. Teks dimaksudkan untuk
menampung tema yang berasal dari materi faktual atau fiksional, dan ini lahir dari
dialektika antara metode kerja (teknis) dan orientasi nilai (etis). Dari kedua aspek ini
pekerja media mewujudkan informasi. Untuk itu dia akan mengolah tema dengan bahasa
(visual dan auditif). Kecenderungannya mengolah tema dalam pendeskripsian ditentukan
oleh kadar selera (taste)nya, sehingga seluruh informasi pada dasarnya akan
mencerminkan tingkat taste dari kreatornya. Sedangkan taste mewujudkan melalui rasa
(sense) dalam menghadapi bahan yang akan dikreasi dan bahasa yang digunakan dalam
pengwujudan teks media.
Film menampilkan wacana yang dapat dijadikan pintu untuk
memahami kondisi
suatu masyarakat. Krishna Sen (1987) yang melakukan kajian kritis atas film-film tahun
1965 sampai 1982, menemukan benang merah antara struktur kekuasaan Orde Baru
dengan film sebagai produk kultural. Film dipandang sebagai proses ideologi, sehingga
konstruksi sosial yang membentuk masyarakat dapat dilihat melalui film. Dalam konteks gender konstruksi sosial muncul dalam penampilan perempuan dan laki-laki dalam peranperan sosial, masalah seksual dan reproduksi, pekerja perempuan, gambaran tentang
feminitas dan stereotip perempuan.
suatu masyarakat. Krishna Sen (1987) yang melakukan kajian kritis atas film-film tahun
1965 sampai 1982, menemukan benang merah antara struktur kekuasaan Orde Baru
dengan film sebagai produk kultural. Film dipandang sebagai proses ideologi, sehingga
konstruksi sosial yang membentuk masyarakat dapat dilihat melalui film. Dalam konteks gender konstruksi sosial muncul dalam penampilan perempuan dan laki-laki dalam peranperan sosial, masalah seksual dan reproduksi, pekerja perempuan, gambaran tentang
feminitas dan stereotip perempuan.
Dari sini kesadaran tentang konstruksi sosial menjadi
penting, sebab akan menjadi
titik tolak dari proses kreatif. Masalah yang perlu diapresiasi adalah bentuk-bentuk
penindasan yang berasal dari nilai patriarkhi. Penindasan dapat bergerak dalam bentuk
kekerasan fisik sampai kekerasan simbolis yang bersifat psikhis. Pemujaan kecantikan
perempuan misalnya, dapat dipandang sebagai kekerasan simbolis jika tujuan akhir adalah
kepentingan hegemoni pasar dalam struktur kapitalisme. Dalam berita televisi nampak dari
liputan suatu pertemuan, misalnya, fokus kamera tertuju kepada bagian-bagian tubuh
perempuan. Dalam konteks jurnalisme pada dasarnya tidak ada nilai berita dari visualiasasi ini, sebaliknya hanya mencerminkan taste reporter/kameraman yang dibentuk oleh nilai patriarkhi (lihat: Soemandoyo, 1999).
titik tolak dari proses kreatif. Masalah yang perlu diapresiasi adalah bentuk-bentuk
penindasan yang berasal dari nilai patriarkhi. Penindasan dapat bergerak dalam bentuk
kekerasan fisik sampai kekerasan simbolis yang bersifat psikhis. Pemujaan kecantikan
perempuan misalnya, dapat dipandang sebagai kekerasan simbolis jika tujuan akhir adalah
kepentingan hegemoni pasar dalam struktur kapitalisme. Dalam berita televisi nampak dari
liputan suatu pertemuan, misalnya, fokus kamera tertuju kepada bagian-bagian tubuh
perempuan. Dalam konteks jurnalisme pada dasarnya tidak ada nilai berita dari visualiasasi ini, sebaliknya hanya mencerminkan taste reporter/kameraman yang dibentuk oleh nilai patriarkhi (lihat: Soemandoyo, 1999).
Dengan begitu penumbuhan kesadaran gender antara lain
ditempuh dengan mengeksplorasi
kasus-kasus yang menunjukkan penindasan struktural, dari tingkat yang eksplisit
bersifat fisik sampai yang implisit melalui dunia simbolik. Dalam menempatkan
perempuan sebagai focus of interest dalam sebuah film dapat dimulai dengan mempersoalkan
posisi kreator dalam menghadapi konstruksi sosial. Apakah dia menjadi bagian
dari konstruksi sosial sebagai penindas, yang tertindas, atau berada di luar (pendekatan
obyektif). Lebih jauh kesadaran akan konstruksi sosial akan menjadi penentu dalam bentukan yang diwujudkan melalui media.
Cerita film telivisi (sinetron) Indonesia yang lebih
banyak mengekploitasi perempuan di ruang privat, menyebabkan interaksi yang
berlangsung hanya dalam konteks hubungan
kekerabatan, pasangan suami isteri (pasutri), orang tua - anak, mertua -menantu, antar besan, antar ipar atau rival pasutri.
Umumnya tema yang berkembang disekitar masalah psikologis, sehingga cerita
menjadi bersifat personal. Dari masalah psikologis semacam ini kemudian pola
akting dipandang berhasil jika dapat mengkspresikan emosi secara optimal, di
antaranya kalau menangis seperti histeris, kalau marah seperti paranoia. Tidak
heran kalau aktris Indonesia menganggap capaian akting terhebat adalah memerankan orang gila, khususnya kegilaan
yang histeria, bukan yang melankoli. Film “Perempuan dalam Pasungan” (sutradara
Ismail Soebardjo, 1980) misalnya menuntut akting yang prima, sebab ekspresi
kegilaan “masuk ke dalam” bukan “meledak ke luar”, akting yang mungkin sangat
asing bagi sinetron Indonesia. Kegilaan dalam
film “Perempuan dalam Pasungan”
disebabkan oleh tekanan konstruksi sosial, bukan karena faktor antah berantah
yang tidak sesuai dengan nalar akal sehat
(common sense).
Dengan tema-tema yang berkutatan di masalah psikologis,
boleh jadi tidak relevan untuk membahasnya dalam pespektif gender. Kreator
film-film ini tentulah tidak berniat
melahirkan teks yang mempertanyakan posisi perempuan dalam suatu konstruksi sosial,
sehingga tanpa disadari sering terjadi ketergelinciran sehingga meneguhkan konstruksi
sosial dalam ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender. Veven SP Wardhana (2000)
dengan kritis mengungkapkan pengamatannya tentang perempuan dalam sinetron
Indonesia. Perempuan dalam sinetron digambarkan dalam rentangan petaka (nasib malang) dan perkasa. Kedua wacana ini ditampilkan dengan cara yang ekstrim sehingga tidak
memenuhi kaidah nalar akal sehat, nasib malang yang berlebihan, atau keperkasaan
perempuan yang diwujudkan melalui hantunya.
melahirkan teks yang mempertanyakan posisi perempuan dalam suatu konstruksi sosial,
sehingga tanpa disadari sering terjadi ketergelinciran sehingga meneguhkan konstruksi
sosial dalam ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender. Veven SP Wardhana (2000)
dengan kritis mengungkapkan pengamatannya tentang perempuan dalam sinetron
Indonesia. Perempuan dalam sinetron digambarkan dalam rentangan petaka (nasib malang) dan perkasa. Kedua wacana ini ditampilkan dengan cara yang ekstrim sehingga tidak
memenuhi kaidah nalar akal sehat, nasib malang yang berlebihan, atau keperkasaan
perempuan yang diwujudkan melalui hantunya.
Wacana yang diantarkan oleh film dan televisi, baik yang
dimaksudkan sebagai informasi jurnalisme maupun hiburan, dapat memperkuat
konstruksi sosial yang bias gender. Selama ini perhatian lebih ditujukan kepada
wacana yang berasal dari informasi jurnalisme, sebab media pers dipandang ikut
bersama-sama penindas dari struktur sosial. Dengan
demikian korban penindasan mengalami
penderitaan ganda.
Sedang dunia hiburan dengan informasi bentukan memang
tidak memindahkan
fakta dari struktur sosial. Tetapi wacana yang dilahirkan
sepenuhnya mencerminkan sikap dan pandangan hidup tentang dunia (world view)
dari para kreatornya. Dengan kata lain, jika jurnalisme memindahkan ideologi
yang berasal dari struktur sosial melalui fakta-fakta, maka suatu karya kreatif
pada dasarnya menciptakan suatu dunia bentukan dari ideologi yang dianut
kreatornya. Ideologi atau pandangan dunia yang mentoleransi penindasan karena
berada pada posisi mayoritas atau
struktur kekuasaan, tercermin dari
eksploitasi perempuan dalam film dan program televisi yang diciptakan.
SOLUSI
Menurut
saya, ada dua hal penting yang bisa dilakukan untuk melampaui masalah di atas.
Pertama, membangun pemahaman masyarakat Islam agar lebih sensitif terhadap
persoalan perempuan sebagai upaya membangun penghargaan yang adil melalui
prinsip antidiskriminasi.
Kedua,
mungkin kita tidak bias pandangan bangsa yang bias gender, tetapi setidakya
kita bias mengurangi dampak pandangantersebut dengan mengurangi produksi film
atau sinetron yang bias gender.
BAB
III
KESIMPULAN
Media massa dapat menjadi reflektor dari ketidak-adilan
gender yang dalam masyarakat karena menampilkan kehidupan manusia faktual
maupun fiksional. Ketidak
adilan gender dapat diartikan sebagai sikap membedakan dalam memperlakukan
perempuan dan laki-laki di dalam kebutuhan sehari-hari mereka. Hal ini
termanifestasikan ke dalam berbagai bidang kehidupan yang ada, tidak terkecuali
di dalam dunia hiburan, dalam hal ini adalah film televisi.
Wacana perempuan dalam film dan program televisi
(selanjutnya disebut film) dapat dikritisi melalui cara pandang yang digunakan
dalam menjadikan perempuan sebagai
subyek, untuk kemudian dilihat interaksinya dalam konteks kekuasaan. Dunia show-biz
yang menjadikan perempuan sebagai sumber lawakan misalnya, menunjukkan ketidak-
adilan gender dari struktur kekuasaan yang tidak seimbang. Penonton perempuan boleh
jadi juga ikut menertawakan lawakan ini, karena juga ikut sebagai bagian dari nilai
dominan dalam kekuasaan struktural. Hiburan semacam ini hanya menjadi replika dari
konstruksi sosial yang bias gender.
subyek, untuk kemudian dilihat interaksinya dalam konteks kekuasaan. Dunia show-biz
yang menjadikan perempuan sebagai sumber lawakan misalnya, menunjukkan ketidak-
adilan gender dari struktur kekuasaan yang tidak seimbang. Penonton perempuan boleh
jadi juga ikut menertawakan lawakan ini, karena juga ikut sebagai bagian dari nilai
dominan dalam kekuasaan struktural. Hiburan semacam ini hanya menjadi replika dari
konstruksi sosial yang bias gender.
DAFTAR PUSTAKA
Sen,
Krishna, (1987) Indonesian Films, 1965 - 1982: Perceptions of Society and
History, A Thesis submitted for the Doctor of Philosophy
in the Department of Politics, Monash University, Melbourne
Soemandoyo, Priyo, (1999) Wacana gender &
Layar Televisi: Studi Perempuan dalam Pemberitaan Televisi Swasta, Lembaga
Penelitian Pendidikan Penerbitan Yogya dan The Ford Foundation,Yogyakarta
Wardhana,
Veven SP, (2000) “Perempuan dalam Sinetron Indonesia: Petaka atau Perkasa”,
dalam
Siregar, Ashadi; Pasaribu, Rondang; Prihastuti, Ismay, ed., Eksplorasi Gender di Ranah Jurnalisme dan Hiburan, Lembaga Penelitian Pendidikan Penerbitan Yogya dan The Ford Foundation, Yogyakarta
Siregar, Ashadi; Pasaribu, Rondang; Prihastuti, Ismay, ed., Eksplorasi Gender di Ranah Jurnalisme dan Hiburan, Lembaga Penelitian Pendidikan Penerbitan Yogya dan The Ford Foundation, Yogyakarta
0 komentar: